Membaca Struktur Surah Al-Fatihah

AL-FATIHAH adalah surah pertama di dalam susunan mushaf al-Qur’an. Surat ini menjadi pembuka al-Qur’an. Oleh karenanya disebut al-Fatihah, pembuka. Sebagian ulama menamainya dengan Ummul Qur’an (induk al-Qur’an) sebab al-Fatihah memuat ajaran-ajaran inti dari al-Qur’an. Sudah banyak ulama yang menafsirkan makna dari setiap kata dalam surah ini secara terperinci. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan menafsirkan—dalam arti memaknai setiap kata dan kemudian mengungkapkan maksudnya—namun berusaha menyingkap rahasia struktur surah al-Fatihah, yakni adanya struktur kesimbangan (harmony) dari sejumlah sisi seperti struktur gramatikal dan muatan atau isinya. 

Untuk memudahkan analisis, bismillah tidak dimasukkan dalam surah ini. Alasannya sederhana, terjadi banyak perdebatan apakah iatermasuk ayat surah al-Fatihah atau tidak, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Tabloid Khalifah dalam setiap edisinya. Untuk menunjukkan adanya nilai-nilai keseimbangan dalam sejumlah hal di surah ini, mula-mula surat akan dibagi ke dalam dua bagian utama. Pembagian ini hampir sama dengan Metode Struktur dan Format al-Qur’an (MSFQ) yang diperkenalkan oleh Khalifah (Lihat buku Membaca dan Memahami Struktur al-Qur’an, 2006:45).

Bagian pertama terdiri dari ayat 1-3 (alhamdulillahirabbil alamain, arrahmanirrahim, maliki yaumiddin). Bagian kedua terdiri dari ayat 5-6 (ihdinassiratal mustaqim, siratalladhina an ‘amta alaihum ghairil maghdhubi alaihim waladdhallin). Sedangkan ayat 4 (iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in)adalah penghubung antara dua bagian utama tersebut. Mari kita mulai analisisnya.

Kalimat nominal dan verbal.

Dalam tata bahasa Arab, ayat 1-3 berbentuk kalimat nominal (jumlah ismiyah). Sementara ayat 5-6 adalah kalimat verbal (jumlah fi’liyyah). Sedangkan ayat 4 yang berada di antara dua bagian utama tersebut memiliki dua kualitas (nominal dan verbal) atau disebut Jumlah Dzatu Wajhain (kalimat dengan dua-wajah). Ayat 4 inilah yang memiliki fungsi memudahkan perubahan atau perpindahan dari kalimat nominal menuju verbal sehingga perpindahannya terasa begitu halus, tidak ngaget (Jw. mengejutkan).

Dalam ilmu kaidah tafsir, kalimat nominal memiliki fungsi menyatakan sesuatu yang permanen, abadi (Dawam/being). Sementara kalimat verbal berfungsi menyatakan sesuatu yang terjadi, baru (hudust/becoming) atau lawan dari dawam. Jadi, puji (Tsana’) Allah, sifat ar-Rahman dan ar-Rahim, serta sifat Raja di hari Akhir (ayat 1-3) merupakan sesuatu yang abadi, permanen. Sedangkan bagian kedua yang berisi permintaan untuk ditunjukkan pada jalan yang lurus merupakan kegiatan yang becoming, harus terus menerus dilakukan. Di sini keseimbangan tersebut terjadi, yakni adanya kalimat nominal dan verbal yang seimbang yang ditengah-tengahi oleh jumlah dzatu wahjain (ayat 4).

Di sinilah terjadi keseimbangan gramatikal, yakni adanya kalimat nominal dan verbal, di mana di antara kedua bentuk kalimat itu ditengah-tengahi oleh kalimah dzatu wajhain, yang berfungsi memudahkan perpindahan dari kalimat nominal ke verbal.

Pikiran dan Aksi

Kalau dibaca secara saksama, bagian pertama, ayat 1-3 berisi gagasan atau pikiran tentang Tuhan semesta alam dan sifat-sifatnya. Sedangkan di bagian kedua, berdasarkan refleksi atas gagasan dan pikiran tersebut manusia mulai mau melakukan (aksi) yakni meminta tolong, beribadah kepadanya dan minta ditunjuki jalan yang benar. Dengan kata lain, pikiran dan gagasan tentang  Tuhan telah mengantarkan pada sebuah aksi atau pergerakan. Di sinilah  terdapat keseimbangan antara pikiran, ide, pemahaman dan aksi atau pergerakan.

Interaksi Tuhan dan Manusia

Menurut surah ini, manusia membutuhkan bantuan Allah dan sudah seharusnya mencari bantuan itu. Di sini lain, Tuhan tidak hanya memperhatikan urusan manusia, tetapi juga melakukan intervensi di dalam sejarah manusia dengan menyediakan segala kebutuhan manusia. Oleh karena itu, terjadilah interaksi antara Tuhan dan manusia. Interaksi tersebut tercermin dalam surah ini. Bagian pertama menyatakan bagaimana Tuhan dihubungkan dengan dunia secara umum (rabbil ‘alamin) dan dihubungkan dengan manusia secara khusus (maliki yaumiddin / Raja di hari pembalasan, membalas amal-amal manusia). Sementara bagian kedua menyatakan bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan Tuhan Sang Pencipta. Terjadilah interaksi dari Tuhan ke manusia dan dari manusia ke Tuhan.

Sehingga masing-masing ayat pada bagian pertama menjadi pasangan pada bagian kedua. Jadi, ayat 1 berbicara tentang Rububiyyah Tuhan dan ayat 4 berbicara tentang penyembahan kepada Tuhan dari manusia untuk mendapatkan petunjuk. Ayat 3 berbicara tentang sifat Tuhan, Raja di Hari Pembalasan dan ayat 6 berbicara tentang penilaian Tuhan, pada hari itu, kepada manusia, mana yang benar dan yang sesat.

Temporal dan non-temporal

Bagian pertama, ayat 1-3 secara gramatikal adalah satu kalimat, yakni kalimat nominal. Kalimat nominal itu tidak memiliki keterangan waktu (tense), sehingga ini menunjukkan non-temporality (tidak berwaktu). Jika ayat 4 kita tinggalkan sejenak, maka ayat 5-6 juga membentuk satu kalimat, yakni verbal. Kalimat verbal memiliki keterangan waktu (tense) sehingga menunjukkan temporality (keberwaktuan). Bagian pertama (ayat 1-3) merupakan realitas ketuhanan (Divine reality), yang tak terbatas waktu dan bagaian kedua (ayat 5-6) merupakan   realitas manusia yang terbatas waktu. Tuhan yang melampaui batas waktu berhubungan dengan dunia manusia yang terbatas waktu. Sedangkan ayat 4, yang menghubungkan dua bagian utama surah ini merupakan sebuah deklarasi atau ikrar oleh manusia yang terbatas untuk pasrah kepada yang Tak Terbatas dan sebuah seruan kepada Yang Tak Terbatas agar masuk ke dalam dunia yang terbatas.

Dunia dan Akhirat

Meskipun kedua bagian utama surah ini merujuk pada dunia dan akhirat, namun fokus utama pada bagian pertama adalah dunia (terdapat konteks dunia di mana menusia berefleksi tentang alam ini). Dan bagian kedua berfokus pada akhirat (terdapat konteks keselamatan akhirat yang dicari manusia). Namun pada saat yang sama, pada bagian pertama Allah sebagai Raja di Hari Pembalasan (ayat 3)juga merujuk pada hari Kiamat dengan istilah yang jelas. Sementara bagian kedua (yang berisi tentang keselamatan dan hukuman diperoleh berdasarkan atas kebaikan dan keburukan yang dilakukan di dunia) menjadi sesuatu yang pasti. Di sinilah, perhatian Allah kepada urusan dunia dan akhirat seimbang. Dunia adalah ladang akhirat dan akhirat adalah tujuan manusia. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Harus sama-sama diperhatikan secara seimbang.

Individu dan sosial

Kalau Anda membaca surah al-Fatihah, terutama ketika membaca bagian pertama (ayat 1-3), posisi Anda adalah sebagai diri individu, yakni diri pribadi yang memuji Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Namun, begitu Anda membaca ayat 4 dan bagian kedua (ayat 5-6), diri Anda berubah menjadi diri sosial (kolektif). Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan (iltifat) dari pembicara tunggal menjadi pembicara plural, yakni dengan dhamir (kata ganti) nun pada kata na’budu (kami menyembah), nasta’in (kami meminta tolong) dan ihdina (tunjukilah kami). Dari sini seolah-olah surah al-Fatihah mengajarkan agar kesalehan individu iu bisa membawa kepada kesalehan sosial atau kolektif. Atau dengan kata lain, harus ada keseimbangan antara kesalehan individu dan kesalehan sosial.

***

Keseimbangan-kesembangan di dalam surah al-Fatihah tidak hanya ditunjukkan pada enam hal di atas saja tetapi masih banyak lagi lainnya, seperti adanya keseimbangan antara persepsi dan konsepsi, emosi dan kognisi, inisiatif dan respon serta priviles dan tanggung jawab.

Pada surat pertama dalam mushaf al-Qur’an ini, manusia sudah diajarkan cara hidup yang seimbang. Nilai keseimbangan ini  memang penting bagi manusia yang hidup di tengah-tengah berbagai bentuk dan aksi kehidupan yang ekstrim. Kiranya, sabda Nabi Muhammad saw sebaik-baik urusan itu yang pertengahan (khairul umuri ausatuha), kini menemukan momentumnya. Kata pertengahan (ausatuha) mengandaikan adanya keseimbangan dalam merespon berbagai persoalan.

Walhasil, baru dilihat dari strukturnya saja surat al-Fatihah sudah memberikan pelajaran yang banyak, belum makna-makna dari setiap kata dan kalimatnya. subhanallah.[]

Hamam Faizin

(Alumni Program Pasca Sajana Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta)

Sumber copas: https://www.iiq.ac.id/artikel/details/643/Membaca-Struktur-Surah-Al-Fatihah

Belajar Tajwid & Tahsin Surat Al Fatihah : Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnen

Surat Al Fatihah harus kita kuasai dengan sempurna, baik tajwid dan tahsinnya. Karena surat Al Fatihah kita lantunkan setiap sholat. Sehingga untuk kesempurnaan sholat kita, maka wajib bagi kita memahami cara melantunkan Surat Al Fatihah sesuai kaidah yang tepat. Belajar tajwid Al Quran mudah dan lengkap, dipandu Al Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnen. Belajar Tahsin dan Tajwid sangat penting dalam upaya kita dapat membaca Al Quran dengan baik dan benar sebagaimana diturunkan kepada Baginda Nabi shallallohu’alaihi wa sallam. Panduan belajar tajwid lengkap ini diambil dari chanel telegram yang dikelola oleh admin Pustaka Ibnul Jazari dengan panduan Al Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnen, penyusun buku MIN AISARIL MU’IIN LI HILLI ‘UQDATIN MIN LISAANIL QORI’IIN (AISAR) dan buku ZADUL QORI – diktat syamil ilmu tajwid.

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH-Kemenag RI

                                                                             TASIR SURAT AL-FATIHAH

Tafsir Kemenag

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ١ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ ٤ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ ٥ اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ٦ صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ ( الفاتحة/1: 1-7)

Terjemah Kemenag

1.  Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

2.  Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,

.  Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,

4.  Pemilik hari pembalasan.

5.  Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

6.  Tunjukilah kami jalan yang lurus,

7.  (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah/1:1-7)

Tafsir Ringkas Kemenag

1.  Aku memulai bacaan Al-Qur’an dengan menyebut nama Allah, nama teragung bagi satu-satunya Tuhan yang patut disembah, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan tersucikan dari segala bentuk kekurangan, Yang Maha Pengasih, Pemilik dan sumber sifat kasih Yang menganugerahkan segala macam karunia, baik besar maupun kecil, kepada seluruh makhluk, Maha Penyayang Yang tiada henti memberi kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah (basmalah) akan mendatangkan keberkahan, dan dengan mengingat Allah dalam setiap pekerjaan, seseorang akan memiliki kekuatan spiritual untuk melakukan yang terbaik dan menghindar dari keburukan.

Baca lebih lanjut